Catatan mommy Ossas kencan bareng Nugisuke, owner thetravelearn di Palembang (bagian kedua -- habis)
Part 1-nya di sini
19
Part 1-nya di sini
Ara-Nugi, our first date |
"Mas, kamu adalah ke-tidak-pahamanku tentang semesta yang kupelajari dalam doa." (Arako, 2020)
Hotel Feodora, Kamar 307
Feodora Airport Hotel Palembang (pic : booking.com) |
Saya memang kurang olahraga. Naik tangga ke lantai tiga saja sudah bikin saya megap-megap. Sampai di kamar yang lampunya remang-remang itu, saya mendadak nge-blank. Bingung ada apa. Lupa tadi kenapa.
Errr, lebih ke awkward juga sih. Baru nyadar kalau kami betul-betul cuma berduaan di dalam kamar. Malam minggu pula. Mau ngapain, Raaaa??? Main ular tangga? Apa monopoli?
Menghilangkan kegugupan, saya langsung ke kamar mandi yang (sialnya) pintunya ga bisa dikunci. Mau pipis pun terus nggak jadi. Yah, tahu sih mas nggak bakal ngintip juga, tapi tetep saja. Nggak nyaman.
Saya cuma duduk di kloset. Mengatur nafas, sambil mengingat-ingat apa yang bikin saya tadi begitu "semangat 45" ngajak mas ke hotel. Asli, otak mendadak nge-lag di momen nggak tepat tuh nggak enak banget.
Pas keluar, begitu lihat tampang mas. Saya langsung paham. Kaya ada yang langsung nyalain lampu di sela keruwetan dalam kepala. Berbarengan dengan itu, mas bilang …
"Ra, aku kumat bengek …"
ASTAGA! IYAAA, GW TAU LU BENGEK, MAS! ORANG PALING BEGO AJA BAKAL TAHU KALAU LIAT TAMPANG LU SEKARANG. NGACA COBA UDAH KAYA IKAN PATIN DI PASAR NUNGGU DIGETOK!
Meski begitu, nggak sepatah kata pun sanggup keluar dari mulut saya. Saya sibuk mengontrol emosi sendiri. Tenang, Ra... Tenang ... Jangan meledak ...
"Tapi tenang aja. Udah minum obat kok," sambung mas buru-buru.
TENANG, TENANG DARI HONGKONG?! KALAU LU MATI DI SINI SEKARANG GIMANA, MAS? MAMPUS GW, BISA JADI TERSANGKA PEMBUNUHAN INI… MANA CUMA BERDUAAN DI KAMAR HOTEL LAGI, PAPA BISA MENINGGAL DUA KALI KALAU TAHU ANAK GADISNYA BEGINI ...
Tapi yang keluar dari mulut saya cuma "Te… terus ini gimana ini, Mas? Kita ke rumah sakit?"
"Nggak, nggak usah. Ntar juga baikan. Tunggu aja… Udah biasa kok ..."
Malam itu saya baru tahu kalau orang sesak nafas itu justru nggak nyaman kalau berbaring. Mereka harus tetap duduk meski sama nggak nyaman-nya. Kami berdua duduk di ujung tempat tidur.
Saya tuh sebenernya berusaha banget untuk menenangkan mas malam itu. Pengen nemenin dia dan pengen bisa bikin dia segera ngerasa baekan. Tapi saya juga nggak tahu harus gimana. Setiap kali ngajak ngobrol, mas jawabnya kaya orang sekarat di sinetron-sinetron itu (ya iyalah, Raaa… namanya orang asthma).
Tapi diem aja juga nggak enak. Bunyi detak jam masih kalah serem sama nafas mas yang "ngiiikk ...ngiiikk…" gitu. Setiap tarikan nafas mas, di kuping saya berasa kaya lonceng penanda kematian. Horor banget asli. Saya benar-benar ketakutan malam itu.
Takut kalau harus kehilangan Mas di meet up perdana kami. Kan nggak lucu.
Perlahan namun pasti, rasa takut kemudian berganti jadi rasa bersalah. Saya flashback momen seharian ini. Andai saya nggak bangunkan mas, dia bisa istirahat lebih lama. Andai saya segera ajak mas pulang begitu tahu ada yang nggak beres bahkan sejak masih di LRT, andai kami tunda dulu ketemuan sama teman (mereka toh orang-orang baik, pasti ngerti kalau janji terpaksa batal), andai saya paksa mas untuk nggak usah bawa motor …
Mas nggak perlu kumat sakit kaya' gini.
Saya menyesal.
Lalu tanpa bisa dicegah, rasa bersalah pun bergeser ke benci sama diri sendiri. Yang kaya gini lu bilang sayang sama orang, Ra? Yakin lu sanggup berkomitmen seumur hidup? Pppfffttt … hari pertama aja lu udah gagal jagain dia! Mau bilang apa lu sama keluarganya kalau Nugi mati di Palembang?
Dan … begitulah. Pikiran liar berkecamuk saling kejar di dalam kepala. Saya takut, cemas, dan panik luar biasa. Tapi di sisi lain, saya tahu harus menyembunyikan emosi sekuat tenaga.
Dalam satu kesempatan ngobrol di telepon, mas pernah bilang kalau serangan asthma-nya kumat, dia nggak mau orang di sekitarnya cemas dan khawatir. Itu bakal bikin dia makin nggak nyaman dan makin susah tenang. Makanya, saya nggak mau kelihatan panik atau cemas.
Tapi mas --tentu saja-- bisa lihat kalau ada yang nggak beres sama diri saya. Otak saya benar-benar kacau di dalam saat itu, tapi yang dilihat mas dari luar cuma Ara yang mendadak "freeze" dengan tatapan kosong. Persis kaya orang kesurupan, katanya.
"Ra… hey, Ara… kamu kenapa?" kata mas sambil menggenggam tangan saya lembut.
Saya berusaha tetap diam, tapi ternyata nggak bisa. Sentuhan tangan mas ke kulit saya ibarat ujung peniti kena balon. Bikin saya nggak bisa nahan diri lagi.
Tangis saya meledak malam itu. Segala kecemasan dan kepanikan langsung tumpah. Saya bahkan sempat nyaris nggak bisa nahan keinginan untuk self harm lagi, even "cuma" jedot-jedotin kepala ke tembok. Ya ampun ... Badan sampai gemetar saking kalutnya.
Saya, yang semula ajak mas ke hotel berniat menenangkan dia, eh, malah berakhir dengan mas yang menenangkan saya. Kacau!
Asli. Serangan asthma dan anxiety disorder itu sungguh bukan kolaborasi menyenangkan!
Untungnya, insiden malam itu berakhir juga. Setelah entah berapa jam, baik saya dan mas pada akhirnya sama-sama bisa tenang. Saya berhenti menangis, dan nafas mas berangsur normal meski belum sepenuhnya membaik.
"Duuhh, jeleknya cewekku kalau nangis gini, cup cup cup…udah yaaaa," kata Mas sambil ngusap air mata saya dan ngelus ngelus puncak kepala. Kalau ada yang lihat tingkah dia yang begitu itu, orang-orang pasti mikir kalau umur saya ini baru 4 tahun.
Meski begitu, saya cuma diam saja. Namanya juga sayang ... (Halah!)
Malam semakin larut, saya mulai bersiap pulang ke kosan. Tapi sebelumnya, saya sempat ajak mas berdoa. Saya peluk dia, dan kami doa bareng.
Begitu kata "Amin" terucap, mas bilang gini sambil senyum-senyum, "Ya ampun. Aku nggak pernah tahu lho pacarku ternyata relijius …"
Saya memutar bola mata. Nggak suka. Dilihat dari sudut mana pun, mana ada sejarahnya si Ara relijius. Fujoshi laknat begini lho.
Saya tuh …, ajak mas berdoa ya karena cuma itu satu-satunya cara komunikasi ke Tuhan yang saya tahu. Saya cuma pengen berterima kasih. Nggak lebih. Andai … misalnya nih, Tuhan punya FB atau WA mah saya tentunya lebih pilih chat Tuhan begini :
"TUHAAANNN … harus banget ya bikin aku nunggu segini lamanya? Tapi nggak papa. Worth it banget tahu. Makasih ya, udah pertemukan aku sama belahan jiwa yang sekarang di sampingku ini. Engkau baik deh, selalu baik meski anakmu yang satu ini bandelnya nggak habis-habis…"
Standar Kegantengan Berbeda
Ganteng versi Mas 😹😹 |
Keesokan harinya, hari minggu (19/1) pagi, saya balik ke hotel lagi. Mas bangun kesiangan, tentu saja. Nggak papa sih, yang penting dia bisa tidur semalam.
Sampai kamar, mas ternyata belum mandi. Tapi pas saya peluk mas masih enak aja tuh aroma badannya meski ga lagi wangi deodorant, melainkan minyak kayu putih. Nggak lama, dia terus ke kamar mandi.
Kalau di hari sebelumnya saya ngeluh mas lelet banget mandinya, asli … nggak ada apa-apanya itu mah. Pagi itu mas JAUH LEBIH LELET. Kalau kemarin sambil luluran, yang ini bulu keteknya sambil dihitungin satu-satu kali. Habis tu dikepang.
Saya udah nyaris ketiduran di kasur saking bosannya nunggu dia. Tapi nggak sia-sia. Begitu pintu kamar mandi menjeblak terbuka dan wangi sabun menguar di udara, pemandangan indah langsung muncul di depan mata : Punggung fenomenal @nugisuke versi live action 😹😹 Asli, yang di feed IG dia itu mah nggak ada apa-apanya.
Lelaki yang memesona dengan punggungnya |
"Kumisku udah dicukur nih, Ra…," kata Mas di depan cermin.
Oh, sambil cukuran toh tadi, pantesan lama. Saya diam-diam ngakak penuh kemenangan. Akhirnya, berhasil juga saya menyingkirkan men pride-nya mas plus apalah apalah yang dia sebut ideologi fisik itu.
Jadi gini, Mas itu ngerasa bangga dan ganteng dengan bulu yang tumbuh di sekujur tubuhnya. Kumis tipis di wajah bikin dia ngerasa dewasa dan macho. Saya? Yang dari kecil memuja idol jepang-korena-cina dan tontonannya sekarang BL series Thailand tentu saja nggak sepakat.
Saya mah nggak butuh cowok sangar nan macho. Lha tipe cowok ideal versi saya itu yang kaya Haoge kok (yang belum tahu, please nggak usah googling). Yah, intinya saya suka cowok syantiek. Kalaupun nggak bisa dapet yang syantiek ya minimal yang manis, imut, cute bikin gemes gitu deh. Bukan yang sangar (sok) macho.
Pffftt, makanya, ketika akhirnya bisa lihat mas tanpa kumis saya puas bukan main. Segera saja saya ikut mendekat ke cermin. Mas yang tadinya lagi pake pelembap, buru-buru menoleh begitu saya tepat di sampingnya.
Saya jadi bisa ngeliatin wajah dia yang dari awal emang udah imut dengan bulu mata lentik dan alis lucunya itu … belum lagi kalau ngomongin tangannya yang sehalus kulit bayi.
Entah gimana wajah kami terus mendekat satu sama lain kaya ada magnet-nya. Lebih dekat … lebih dekat lagi… sampai hembusan nafasnya berasa hangat di wajah … sampai wangi tubuhnya tercium … Saya bahkan bisa lihat jerawat unyu dan mungil di bawah telinganya ...
"Mas…," ucap saya, setengah mendesah, nyaris berbisik.
"Hmm?" Mas kaya kehilangan kata-kata.
"Ini kita udah telat lho ke gereja …"
Mas langsung ngakak. "Ya nggak papa telat, ntar kalau ditanya mama, kubilang 'Iya, Ma. Ini tadi telat soalnya Ara nakal di hotel…'"
Tapi dia terus sibuk ngaca lagi. Kembali "dandan" setelah sebelumnya sempat saya interupsi. Cuma saya masih kepikiran bercandaan mas barusan. Kenapa sih ya cewek selalu (di)salah(kan) misal terjadi sesuatu yang iya iya?
Cewek diperkosa katanya pakaian atau kelakuannya menggoda dan mancing-mancing lawan jenis duluan. Lha kelakuan mas yang sengaja keluar kamar mandi topless gitu apa namanya kalau nggak menggoda? Emang cowok doang gitu yang punya nafsu? Cewek nggak boleh horny?
Tapi misal kemudian beneran terjadi apa-apa, kesimpulan yang ada ya bakal tetep "Ara yang nakal".
Hebat!!!
Cowok dibonceng Cewek, Why Not?
Jalan ke dusun Ibu Ratu, kalau musim hujan |
Jam 9 lewat kami baru meluncur dari hotel. Kami akan ibadah di gereja di dusun Ibu Ratu di Desa Sungai Rengit Kabupaten Banyuasin. Perjalanan normal 45 menit dari kosan.
Tapi karena Mas yang bawa Akashi, perjalanan berasa sejuta kali lebih lambat. Berulang kali saya bilang ke mas biar saya yang bawa motornya, mas nolak. Biasalah, cowok. Gengsinya kegedean. Nggak ada cerita cowok dibonceng cewek katanya.
"Ini mas bakal gini terus bawa motornya?" tanya saya yang mulai emosi saking nggak sabarnya.
"Iya, kenapa emang?"
"Mana bisa ibadah kita. Tengah hari ntar baru nyampe."
Entah karena menangkap nada ketus di suara saya, atau ngerasa belum menguasai medan yang didominasi jalan berlumpur khas dusun, atau khawatir terlambat ibadah … mas akhirnya menyerah juga. Dia bolehin saya yang bawa motor. Dan dia nangkring di boncengan.
"Raaaa…. GILA! KAMU NGEBUT BANGET!!!!" Mas sibuk teriak-teriak panik di belakang begitu saya tancap gas. Mana jalanan nggak rata, pasti nggak enak banget. Ya ampun, saya nggak merasa ngebut blass lho padahal.
Mas bilang itu adalah pertama dan terakhir kalinya dia diboncengin saya. Kapok katanya. Nggak mau lagi. Mas juga bilang kalau begitu cara saya bawa motor, di Bandung nggak akan biarin saya bawa motor sendiri.
Hadeh. Payah!
Kujatuh Cinta Lagi, 'Tuk ke Sekian Kali ...
Kabar baiknya, kami sampai gereja dengan selamat meski jelas amat terlambat. Yah, at least masih sempat dengerin khotbah. Kami duduk di bangku paling belakang, sepanjang sisa ibadah tangan mas nggak berhenti genggam tangan saya. Mas masih sakit, tangannya benar-benar panas.
Selesai ibadah, gereja memberi kesempatan untuk orang-orang yang baru pertama ibadah pertama kali untuk maju ke mimbar untuk memperkenalkan diri. Jadi Mas maju dong.
Tahu nggak, dulu saya nggak percaya orang bisa jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama. Tapi di detik pertama Mas ngomong di depan seisi gereja, saya kembali jatuh cinta pada lelaki satu ini.
Jadi, saya tuh berasa melihat Nugi dengan versi berbeda. Nugi yang selama ini saya kenal kan kaya childish, suka cengengesan, rajin bercandaan, tapi pendiam dan kalem bukan main kalau di depan orang yang baru ketemu. Nugi yang di mimbar pegang microfon itu betul-betul semacam punya aura misterius yang kemudian membius semua audience.
Betapa tenang dan meyakinkannya Mas saat bilang dia ke Palembang buat nemuin mama saya. Bahwa dia ingin hubungan kami berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Bahwa dia secara khusus minta didoakan untuk rencana menikah tahun depan.
Dalam hati pengen teriak lho, "NAH! INI BARU COWOK!!! JANGAN CUMA NGEDEKETIN, MODUS-MODUSIN BERTAHUN-TAHUN TAPI NGGAK NGELAMAR-LAMAR" (Lah, curcol Ra? 😹)
Yah, intinya saya pulang gereja hari itu dengan senyum mengembang. Asli, puas banget ngeliat tampang-tampang speechless orang-orang yang selama ini nggak bosen neror dengan "Mana cowoknya?" atau "Kok nggak nikah-nikah? Awas jadi perawan tua lho…" atau "Nggak usah milih-milih banget lah, nanti malah bablas nggak laku susah lho, Mbak…". Atau yang neror mama dengan "Anaknya Bu Tri males ngerjain kerjaan rumah gitu memang ada laki-laki yang mau?"
WOYY… TUUHHH… TUUHH COWOK GW. CALON LAKI GW. MANIS KAN? KEREN KAANN? DENGER DIA NGOMONG APA TADI? TAHUN DEPAN CUY, TAHUN DEPAANN…
(Weits, santai Ra. Santai. Nggak usah nge-gas… Ingat, balas dendam termanis adalah dengan senyuman. Yang elegan dong ... MUAHAHAHAAHAHAHA…)
Di Istana Ibu Ratu
Yah, di sini mah sebagian besar pembicaraan memang udah jadi urusan calon mantu dan ibu mertua. Saya sibuk pijatin kaki mas saja, berharap dia agak sedikit lebih enakan badannya nanti.
Soal pijat ini, saya dari dulu emang pengen banget bisa. Menurut saya, ini adalah keahlian penting yang seharusnya dimiliki setiap perempuan bersuami. Bahkan jauh lebih penting ketimbang keahlian memasak. Karena percayalah, di zaman kaya sekarang ini, adalah lebih baik suami makan di luar ketimbang pijat di luar. 😹😹😹
Oh iya, Mas juga lulus ujian mengguntingkan kuku lho. Cerita lengkap soal ini sudah pernah saya share di Facebook.
Mmm, sebelum jumpa Mas, ada satu kekhawatiran besar saya yang masih mengganjal. Jadi Mas itu kan punya asthma, saya sempat takut mas nggak bisa dekat-dekat atau piara kucing. Sementara saya, mana bisa hidup tanpa gumpalan bulu itu?
Tapi kekhawatiran saya nggak terbukti. Mas sama sekali nggak batuk atau bersin-bersin. Ossas juga kaya yang langsung akrab gitu sama Mas. Ndusel ndusel manja minta dielus. Aneh, padahal selama ini langsung kabur kalau lihat orang asing.
Ossas dan ayah baru ... |
Hmm …, mungkin Ossas paham. Yang sekali ini bukan orang asing, tapi calon ayah tiri. Lelaki yang akhirnya memenangkan hati mommy-nya tercinta.
Meski begitu, seiring waktu, mood saya memburuk dengan cepat. Mungkin karena sadar kalau nggak bisa lagi berlama-lama sama Mas. Asli, waktu tersisa cuma tinggal beberapa jam saja …
Memikirkan itu bikin saya nggak bisa menahan air mata. Ya. Saya nangis lagi. Di pelukan mas. Nggak mau pisah. Nggak ingin ditinggal.
Ibu Ratu diam saja.
Tahu anak gadisnya ini aslinya memang cengeng.
Dan Waktu Tetaplah Mencair ...
Waktu itu seperti kurva. Menanjak lambat sebelum jumpa, namun terjun bebas setelah mas di sini. 2 hari bak sekejap saja. Mas benar-benar sudah waktunya kembali ke Bandung.
Btw, Mas itu plin plan ternyata. Waktu berangkat bilangnya nggak akan pernah mau dibonceng saya lagi. Tapi pas setelah pamitan sama mama, dia bilangnya,
"Udah. Kamu aja yang bawa motornya …"
Haha. Kecanduan dia dibonceng cewek!
Tapi beda dengan berangkat tadi, saat pulang saya bawa motornya sepelan mungkin. Mungkin dengan begitu, waktu bisa sedikit melambat.
Sampai kosan, kami punya waktu sekitar 1,5 jam sebelum mas ke bandara. Saya ajak mas ke kamar yang sepi. Hujan lebat di luar... Memungkinkan kami untuk segera … ena-ena.
Pppfffttt. MANA ADA!!!!
Jadi … gini lho, pemirsah
Sekalipun nafsu tuh ada (ya iyalah, kami kan masih normal cuy!), sekalipun tempat dan suasana mendukung … tapi kalau kita betul-betul sayang sama orang tuh beda tahu. Beda banget!
Ketika rasa sayang mendominasi, rasa menghormati sekaligus rasa ingin menjaga dan melindungi itu muncul juga. Mungkin kedewasaan juga berperan di sini, bahwa masing-masing sudah ngerti apa konsekuensinya kalau misalnya sampai melanggar batas.
Intinya kalau ke arah sana nggak lah. Kami nggak mau. Cara Tuhan mempertemukan kami sudah begitu indah. Nggak asyik banget kalau misalnya harus dirusak sama kenikmatan sesaat. Biarlah, dari awal kami sudah komitmen mau sabar sampai waktunya tiba. Sampai sah. Well, ini bukan mau sok suci atau gimana … tapi semata percaya kalau buah kesabaran itu nggak akan berkhianat.
Masih banyak cara lain buat sayang-sayangan tanpa harus kebablasan.
Lagipupa, boro pengen yang gitu-gituan, mata saya juga udah kaya keran bocor. Bawaannya cuma pengen nangis aja.
Nggak rela, cuma sesingkat ini ternyata waktu yang bisa dinikmati bareng orang yang sudah ditunggu demikian lama. Kami cuma berakhir dengan pelukan lamaaaaaaa banget tanpa banyak kata. Sesekali mas membujuk dan menenangkan kalau isak saya mulai tak terkendali.
Saya tahu, mas juga nggak rela pisah. Cuma harga diri dia sebagai cowoklah yang menahan dia nggak sesenggukan kaya saya. Momen di kamar kosan saya itu bener-bener yang sering dideskripsikan dalam novel-novel romance : "Nggak perlu ngomong apapun, nggak perlu ngapa-ngapain … Lo ada di sini, di samping gw. Cukup."
Dan waktu tetaplah mencair, sekalipun kau berharap ia membeku selamanya...
Berat sekali rasanya mengantar mas ke bandara sore itu. Nggak banyak lagi momen yang saya ingat kecuali nemenin mas makan di CFC bandara dan sempat selfie beberapa kali untuk terakhir kalinya. Saya terlalu emosional.
Meski begitu …, saya sempat bertanya hal ini, "Mas, tiga kata dong untuk dua hari ini …"
"Aku. Semakin. Yakin."
Air mata saya mengalir lagi senja itu. Tapi bukan lagi air mata kesedihan karena perpisahan, tapi keyakinan dan ketetapan hati untuk memandang hari depan yang penuh harapan.
Aku. Semakin. Yakin |
Salam, LDR Fighter!!!! Yoshhhh!!!!
***
Sampai selesai menulis postingan ini,
saya masih nggak ngerti kenapa
orang kaya Mas bisa suka
cewek sinting kaya' saya.
Apa ya? Rasanya terlalu
banyak kekurangan seorang Ara
untuk disandingkan
sama Nugi.
Tapi
satu hal yang pasti,
yang nggak sedikit pun saya ragukan ...
bahwa mas adalah jawaban doa yang sudah demikian lama saya nantikan.
Mommy Ossas mau
say thank you untuk kalian yang sudah mau baca dan ninggalin komentar,
mohon doanya ya kalian semua 😘
semoga #RagiStory bakal terus
berlanjut sampai maut memisahkan.
Amin. Amin. Amin.