Hak Kesehatan Seksual (gambar : kompas) |
Belakangan ini saya beberapa kali membaca berita yang cukup bikin geram, yakni soal pelecehan seksual yang dialami kaum disabilitas. Kasus-kasus yang sungguh bikin marah, geram, sedih, dan miris sekaligus. Terlebih, karena para korbannya masih remaja atau di bawah umur.
Saya ingat saat masih kecil, ada kehebohan di dusun saya. Salah seorang warga, seorang remaja perempuan down syndrome, mendadak diketahui hamil di luar nikah. Saat itu saya belum terlalu paham, namun saya sudah tahu bahwa hamil tanpa didahului ikatan pernikahan sebelumnya merupakan hal yang sangat memalukan.
Ketika sudah agak lebih dewasa, saya baru paham kalau apa yang terjadi dengan remaja tersebut adalah kasus perkosaan dengan memanfaatkan ketidakberdayaan si korban. Pelakunya lebih dari satu, dan hampir semua adalah tetangga sendiri yang berdalih mengajak korban bermain-main di sawah yang ada pondoknya. Dan di sanalah perilaku bejat itu terjadi berulang kali hingga sang remaja akhirnya hamil tanpa pernah benar-benar paham apa yang sebenarnya terjadi.
Kasus seperti ini membuat saya sadar, bahwa mendapatkan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi adalah hak setiap orang, termasuk remaja disabilitas dan OYPMK (orang yang pernah mengalami kusta). Wawasan terkait edukasi ini selain berdampak baik bagi kesehatan, tentunya akan mampu meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman pelecehan dan kekerasan seksual yang mungkin terjadi.
Belum lama ini, saya dan rekan-rekan sesama blogger dan teman-teman Ruang Publik KBR dan NLR Indonesia mengikuti sebuah siaran sosialisasi bertajuk Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Bagi OYPMK dan Remaja disabilitas. Dalam agenda tersebut, salah satu narasumber yakni Westiani Agustin yang merupakan founder Biyung Indonesia mengatakan, edukasi terkait kesehatan seksual dan reproduksi untuk perempuan Indonesia masih cukup sulit diakses. "Jangankan untuk yang disabilitas dan OYPMK, yang remaja normal saja masih kesulitan mengakses informasi. Umumnya karena topik-topik terkait kesehatan seksual dan reproduksi ini masih dianggap tabu untuk dibicarakan," ujar Westiani.
Pentingnya Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi |
Hal senada disampaikan Wilhelmina Ice, remaja Champion program Hak Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR) asal Nusa Tenggara Timur. Menurut Ice yang juga remaja disabilitas ini, dirinya tergolong beruntung mendapatkan edukasi dari program HKSR yang dia ikuti. "Namun ada banyak teman-teman saya yang kesulitan mengakses informasi. Selain ada perbedaan kapasitas pemahaman antara teman yang satu dan yang lain, keluarga sendiri terkadang masih tidak mau tahu tentang hal ini," ujarnya.
Disampaikan Project Officier HKSR NLR Indonesia, Nona Ruhel Yabloy, sudah saatnya masyarakat kita sadar bahwa seks edukasi itu berbeda dengan pornografi. Dengan pemahaman yang benar terkait kesehatan seksual, remaja khususnya penyandang disabilitas lebih bisa melindungi dirinya sendiri. "Mulai dari hal-hal sederhana terkait pentingnya menjaga kebersihan dan merawat diri. Untuk wanita tahu kapan harus mengganti pembalut saat menstruasi, dll," jelas Nona.
Hal tersebut penting, tapi sampai sekarang banyak orang tua yang berpikir anak akan tahu sendiri pada waktunya, tidak perlu diajari. Padahal belum tentu. Seringkali anak justru kebingungan dan mencari tahu sendiri. Tentunya akan jadi berbahaya jika pada akhirnya anak malah mendapat informasi yang keliru.
Untuk itulah, perlu adanya support system dari orang terdekat. Penting membangun hubungan yang sehat agar remaja punya tempat aman untuk bertanya, khususnya terkait kesehatan seksual dan reproduksi yang selama ini dianggap tabu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar