![]() |
Memberi Kesempatan Kedua - Kucingdomestik |
Di usia dewasa yang cukup matang ini, aku banyak memberikan kesempatan kedua pada sejumlah bahan makanan yang telah lama di-blacklist oleh lidah bocahku. Kebanyakan adalah sayuran bercita rasa pahit : Pete, pare, daun pepaya, sawi pahit, juga terong dengan segala keturunannya. Waktu kecil dulu, jika melihat semua itu terhidang di meja makan, aku akan mengembalikan lagi piring yang sudah diambil ke raknya. Nafsu makanku auto menguap seketika.
Entahlah, lidah bocahku sepertinya trauma sekali, sampai memutuskan tidak mau menyentuh sama sekali hingga bertahun-tahun-tahun ke depan. Namun belakangan, aku yang tahu-tahu sudah dewasa ini memutuskan memberi kesempatan kedua. Dengan mencicip kembali semua menu masakan yang tadinya kubenci itu. Aku berusaha memberikan penilaian se-objektif mungkin.
Pete atau petai adalah yang “beruntung” untuk dicoba pertama kalinya. Aku lupa kapan persisnya atau dimana lokasinya, namun aku ingat butir-butir hijau petai tampak sangat menggoda di antara potongan seafood di nasi goreng yang kupesan. Aku sempat berkonflik batin, antara mencicipi atau menyingkirkannya satu per satu ke tepi piring seperti biasa.
Namun sebuah kekuatan maha dahsyat seolah memaksaku menjejalkan petai itu ke dalam mulut. Aku ingin, namun masih takut. Jadi setengah butir petai itu kubelah lagi jadi potongan lebih kecil… Dengan harapan, jika rasanya masih tidak enak aku tidak akan “tersiksa” berlama-lama.
Surprisingly, aku menyukainya!
Rasa pete masih sama pahit dan anehnya dengan ingatan masa kecilku. Tapi sepertinya lidahku punya kapasitas penerimaan lebih baik. Rasa pahit petai rupanya mampu berpadu lezat dengan gurih dan pedasnya nasi goreng seafood.
Aku sampai menyesal sendiri, kemana saja aku belasan tahun terakhir sampai tidak tahu kalau petai ternyata seenak itu! Aku belum bisa makan petai mentah. Cita rasa terbaiknya menurutku adalah jika dimasak (tumis/goreng/bakar) sebentar hingga agak layu. Favoritku sekarang jika disambal bersama udang atau dicampur dengan nasi goreng.
Tak lama, aku merasakan sensasi yang sama dengan sawi pahit. Meski tidak serta merta jadi favorit, tumis sawi pahit tak lagi jadi musuh yang kuhindari. Sebaliknya, dia akan jadi teman menghabiskan nasi jika disandingkan ikan asin (atau tempe dan ayam goreng) dengan sambal terasi super pedas.
Sayangnya, tetap ada yang tidak berjalan baik meski sudah berkali-kali diberi kesempatan. Mau dicoba sebanyak apapun, baik dengan menu dan teknik masak yang berbeda… aku masih belum. bisa menerima pare dan daun pepaya. Meski sama-sama pahit, tipe pahit dia sayuran ini berbeda. Terlalu pekat (?) hingga tak bisa diterima lidahku.
Tapi setidaknya, saat ini aku bisa menghindari atau menyingkirkan pare dan daun pepaya dengan perasaan lebih lega. Pada dasarnya memang… ga cocok saja denganku mungkin.
Yang paling aneh itu hubunganku dengan berbagai jenis terong (dan semua turunannya –takokak/leunca, dll). Aku sadar bahwa aku selama ini memusuhi terong bukan karena rasanya, melainkan karena teksturnya. Aku tidak tahu ada hubungannya dengan otak ADHDku yang rentan overstimulated, tapi aku merasa tekstur bjji-biji terong itu bikin aku kegelian ga nyaman. Sensasi itu ga berubah dari aku kecil sampai sekarang.
So, kalau ditanya “status”nya bagaimana sekarang, mungkin terong ini termasuk B aja. Aku ga bisa bilang menyukai, tapi aku ga membencinya juga. Masih mau makan, tapi kalau disuruh masak… aku akan pilih opsi sayur yang lain.