![]() |
Teknik Pewarnaan Alami Ala Suku Dayak Iban dan Cinta Bumi Artisant (kucingdomestik.com) |
Teknik pewarnaan alami untuk kain selalu memiliki keunikan tersendiri. Menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan, teknik pewarnaan ini kerap menghasilkan warna-warna khas. Meski menggunakan bahan-bahan yang murah karena biasanya langsung didapat dari alam, namun warna yang dihasilkan biasanya sangat awet, tidak mudah pudar, dan sudah pasti tidak merusak kain.
Keunikan lainnya, teknik pewarnaan alami pada kain biasanya memiliki koneksi budaya. Prosesnya kerap terhubung dengan ritual dan tradisi ritual tertentu yang sudah diwariskan turun temurun lintas generasi dalam waktu lama. Seperti yang terjadi pada pembuatan kain tenun ikat khas suku Dayak Iban.
![]() |
Margareta Mala & Komunitas Tenun Endo Segado |
Saya beruntung bisa bertemu secara virtual dengan Margareta Mala dari Komunitas Tenun Endo Segado lewat gathering online Eco Blogger Squad bertajuk “Upcycling Waste into Wearable Art” akhir Februari lalu. Perempuan Dayak Iban asli yang disapa Kak Mala ini berkisah tentang pembuatan kain tenun ikat yang seluruh prosesnya menggunakan bahan-bahan yang diambil langsung dari alam.
Tenun Ikat Dayak Iban : Antara Tradisi Warisan, Pelestarian Alam, dan Pemberdayaan Perempuan
Membuat tenun ikat Dayak Iban tidak bisa sembarangan karena menyangkut sebuah tradisi dan warisan kebudayaan turun temurun. Helai demi helai benang yang ditenun diwarnai dengan pewarna alami yang umumnya berasal dari bagian tumbuhan seperti daun, bunga, buah, akar, juga kulit pohon. Biasanya masyarakat menggunakan rengat padi, mengkudu akar, juga engkerabai. Tumbuhan tersebut diambil langsung dari hutan atau kebun dan pekarangan milik warga setempat.
Sebelum menenun, ada proses yang harus wajib dilalui, yakni “Nakar”. Nakar adalah suatu proses perminyakan, yaitu proses pemberian lemak dan protein pada benang yang bertujuan untuk mengikat warna pada kain, sehingga warna yang dihasilkan akan awet dan tidak mudah pudar. Saking awetnya, kain tenun ikat Dayak Iban bisa tahan hingga lintas generasi.
Nakar lebih dari sekadar proses pembuatan kain biasa. Nakar bagi suku Dayak Iban adalah sebuah prosesi sakral yang tidak bisa dilakukan sembarang orang. Berikut hal-hal menarik dari prosesi Nakar :
1. Bahan ramuan yang digunakan dulunya berasal dari hewan seperti lemak ular, ikan, atau ayam. Namun karena makin sulit didapat, saat ini masyarakat lebih memanfaatkan tumbuhan seperti kelapa, kepahiang (kepayang), kayu pohon jangau dan sejumlah biji-bijian.2. Pencampur ramuan adalah perempuan lanjut usia (lebih dari 60
3. Terlarang dilakukan di dalam rumah, harus di luar rumah4. Perempuan hamil dan menstruasi tidak boleh melakukan prosesi Nakar5. Tidak boleh dilakukan saat ada kematian, dipercaya akan membuat benang mudah putus dan rapuh6. Benang yang sudah melalui proses Nakar harus masuk ke Rumah Betang dengan penjagaan sepanjang malam
Lebih lanjut tentang proses pembuatan kain tenun ikat Dayak Iban, bisa dilihat pada gambar berikut :
Untuk itulah, saat ini komunitas Kak Mala berjuang agar asset budaya kebanggaan sukunya ini tak punah oleh zaman. Para perempuan diberdayakan agar tak hanya berfokus pada pembuatan, namun juga belajar meningkatkan kualitas kain tenun, pengembangan kerajinan tangan berbahan dasar kain, termasuk juga teknis pemasarannya.
Kain tenun ikat Dayak Iban tidak bisa dibeli karena masyarakat tak menjualnya. Bagi siapapun yang ingin memiliki, mereka harus pakai istilah "adopsi". Sebab merka akan mendapat lebih dari sekadar kain, namun juga kisah berharga, filosofi bernilai, dan warisan budaya turun temurun.
Fashion Kekinian Berkelanjutan Bersama Cinta Bumi Artisant
Masih di online gathering #EcoBloggerSquad yang sama, sewaktu melihat contoh kain dan produk fashion yang “dipamerkan” oleh Novieta Tourisia, Founder Cinta Bumi Artisant (CBA) dalam slide-nya, saya sempat bengong tak percaya kalau semua itu dibuat dari pewarna alami. Sebab di mata saya, tampilannya begitu artsy dan kekinian banget. Jauh dari kesan kuno yang boring.
Bermarkas di Ubud, Bali, CBA telah memproduksi banyak barang fashion dengan konsep berkelanjutan. Bahan bakunya kebanyakan adalah limbah fashion yang disulap menjadi barang-barang baru. Proses pewarnaan produk-produk seperti pakaian, aksesoris, dan tas dibuat menggunakan bahan-bahan alami yang ramah lingkungan.
Menurut Novieta, ada banyak sekali bahan alami yang bisa dibuat pewarna. Tidak hanya terbatas pada warna-warna Bumi yang netral, namun warna "cewek kue" seperti pink pun bisa dihasilkan "hanya" dari biji alpukat. Wow, mind blowing banget, bukan.
"Dedaunan, akar, bunga-bunga, hingga sampah dapur seperti kulit bawang dan biji alpukat pun bisa dipakai jadi pewarna alami," kata Novieta.
Salah satu teknik yang dipakai dan cukup mudah pembuatannya adalah ecoprinting. Ecoprint merupakan sebuah teknik cetak yang menggunakan bahan-bahan organik untuk menghasilkan pola pada kain (atau bahan lainnya). Karena bahan yang dipakai organik dan bebas bahan sintetis berbahaya, sudah pasti teknik ini ramah lingkungan.
Part paling seru adalah ketika saya dan rekan-rekan EBSquad berkesempatan praktik ecoprint bareng Kak Novieta langsung karena sudah dikirimi Dye Kit dari CBA beberapa hari sebelumnya.
Sayang, karena keterbatasan peralatan, saya masih terkendala praktik. Tapi di sini saya akan share step by step-nya dengan lengkap :
![]() |
Proses pembuatan tote bag ecoprint |
Penggunaan teknik pewarnaan alami seperti yang dilakukan seperti yang dilakukan oleh suku Dayak Iban dan Cinta Bumi Artisant bukan hanya unik, namun memiliki banyak keuntungan lain : lebih murah, ramah lingkungan, membuka peluang pasar baru untuk industri pangan yang berkelanjutan, melestarikan budaya, memaksimalkan potensi alam tanpa merusak kelestariannya, serta penting bagi kesehatan penggunanya karena dipastikan aman dan bebas dari bahan beracun.
So, apakah kalian tertarik menggunakan produk fashion yang menggunakan pewarna alami yang ramah lingkungan?
Salam dari Bumi Pasundan,
yang dibuat saat
Tuhan sedang tersenyum
![]() |
Tote bag ecoprint |
Itu kain tenun Dayak Iban pasti bernilai tinggi, keren ketika warnanya bisa bertahan lintas generasi.
BalasHapusAku baru tau soal ecoprint. Nggak kebayang sampai kulit bawang dan biji alpukat bisa jadi pewarna alami. Hasilnya pun cowok skena banget ya hahaha. Artsy banget. Cowok dan cewek bisa pake semua, malah jadi ada sentuhan etniknya.
Yok kita dukung juga UMKM-UMKM ramah lingkungan seperti ini.